Complicated Season 2

 ( Part 2 )

 


Hari keberangkatan ke Banjarmasin.


Isti menitipkan Nesa dan Valdi ke rumah Angga. Karena Nesa lebih senang bermain dengan 3 anak Angga yang berjenis kelamin laki-laki semua. Arjuna, Bima dan Chandra.


Tapi tentunya Nara tidak sendiri, tanpa diminta sepupu Aji yang lain akan datang secara bergantian untuk memantau.


Vasco, Isti dan Aji menginjakkan kakinya kembali ke Banjarmasin. Aji langsung membawa anak dan istrinya ke apartemen lebih dulu.


“Kapan kita akan menemuinya?” tanya Vasco yang tak sabar.


” Tunggu mobil teman ayah ya…..” jawab Aji dengan tetap berusaha tersenyum.


Setiap di Banjarmasin, Aji menyewa mobil untuk mobilitasnya.


Tak berselang lama, seseorang menghubungi Aji, pertanda mobil sewaanya sudah tiba.


Isti mendapat info dari Gayatri bahwa Johan masih bekerja di perusahaan yang lama. Mereka pun berangkat ke perusahaan tempat Johan bekerja.


Mereka tiba tepat saat jam istirahat.


Vasco keluar mobil lebih dulu.


“Love, aku tinggal ya?” ucap Aji saat Isti melepaskan seatbelt.


“Aku nggak mau ketemu Johan sendirian, mas. Temani aku ya?” balas Isti dengan menunjukkan wajah melasnya.


“Aku nggak enak, ini kan internal kalian.”


“Tapi sekarang aku istrimu, Mas. Dan secara hukum yang sah, Vasco anakmu.” Isti mengingatkan.


“Ya, benar! Kalian milikku……” jawab Aji lebih bersemangat.


Mereka bertiga melangkah menuju lobby kantor.


“Dulu, Ibu dan Johan sama-sama pegawai disini.” ucap Isti menatap Vasco. Pemuda itu hanya mengangguk.


Tiba di lobby, Aji dan Vasco duduk di sofa. Isti menghampiri resepsionis, Isti tak mengenalnya. Dia ingin bertemu dengan Johan.


“Siang Mbak, bisa ketemu dengan Pak Johan? saya Isti.” ucap Isti.


“Sebentar ya Bu…” balas resepsionis.


Tak berselang lama.


“Tunggu 5 menit ya Bu.” ucap si resepsionis.


Isti mengucapkan terima kasih, lalu ikut bergabung dengan suami dan anaknya. Wanita itu duduk ditengah, di apit oleh Aji dan Vasco.


Beberapa menit, terlihat seorang pria berkemeja lengan panjang menghampiri mereka. Isti melihat wajah Johan, walaupun tampan, wajahnya terlihat serius dan menua.

Johan cukup terkejut melihat orang yang ditemuinya.


Aji berdiri lebih dulu, dan mengulurkan tangannya, lalu disambut oleh Johan.


“Apa kabar?” tanya Aji dengan suara tegas


“Baik.” jawab Johan dengan kaku.


“Ini anakku, Vasco.” ucap Isti sambil mengelus kepala Vasco. Isti masih menganggap Johan tidak mengakui anaknya, dan dia mengklaim Vasco hanya miliknya seorang.


Vasco melihat Johan lebih seksama dari pertemuan sebelumnya. Saat di toko buku, Vasco terlihat cuek, dan pikirannya kacau karena pertanyaan tentang ayahnya.


Dan kini Vasco menyadari, dia sangat mirip sekali dengan Johan, mungkin berbeda penampilan saja.


“Sudah makan siang? kebetulan aku mau makan siang, sekalian keluar checking lapangan. Kita makan bareng ya?” balas Johan.


“Ya, aku belum makan.” sahut Vasco cepat. Dia ingin interaksi dengan ayahnya, dia juga ingin mengenal ayah kandungnya.


“Ok, kita makan siang di seberang saja.” lanjut Johan.


Sebenarnya Aji enggan melakukan makan siang bersama pria yang bernama Johan, karena dia pernah melecehkan dan meremehkan istrinya.


Begitu juga dengan Isti, dia malas berhubungan dengan pria yang tidak bertanggung jawab. Bukan berarti belum move on, Isti sangat bersyukur bertemu dan menikah dengan Aji. Tapi Isti merasa Johan masih menganggapnya wanita murahan.


Mereka kini berada di rumah makan.


“Karena kalian tamu disini, maka aku yang akan menjamu.” ucap Johan sambil mendaratkan pantatnya. Johan beberapa kali menatap wajah Vasco dengan senyum sumringah


“Mas pengen makan apa?” tanya Isti penuh hangat.


“Seperti biasa aja, Love. Ikan bakar.” ucap Aji tak kalah hangat.


“Vasco?” tanya Isti.


“Sama seperti Ayah.” jawab Vasco.


“Om , pengen makan apa?” lanjut Vasco, rasanya pemuda itu peka terhadap kekakuan orang tuanya.


“Nasi kuning aja.” jawab Johan dengan tersenyum kepada Vasco. Johan pun mengusap kepala Vasco dengan lembut.

Aji dan Isti hanya bisa menatap.


Tak lama, pelayan datang dan merinci pesanan mereka, lalu pelayan meninggalkan meja.

Isti tak sanggup menunggu, dia juga tidak suka basa-basi.


“Kami kesini karena permintaan anakku, dia ingin tahu siapa ayah biologisnya.” Isti memulai pembicaraan. Isti menatap Johan dengan datar.


“Tidak bisakah kita membicarakan setelah makan siang?” tanya Johan.


“Kenapa? Cepat atau lambat, kita juga akan membicarakan hal ini. Bukan begitu Vas?”


“Oh?! Ehmmmm ..Iya Om, Ibu dan Ayah ke kota ini karena permintaan saya. Ibu dan Ayah sudah menceritakan semuanya.” ucap Vasco.


“Jadi Vasco sudah tahu siapa ayah Vasco yang sebenarnya?” tanya Johan.


“Ayah Vasco hanya Ayah Aji, mungkin Om bisa menyebut dengan panggilan yang lain.” ujar Vasco. Aji merasa senang, dia masih di anggap ‘Ayah’ oleh pemuda itu.2


“jadi kamu ingin memanggilku apa? Papa? Bapak?” Johan bertanya.


Vasco hanya menaikkan kedua bahunya.


Vasco sendiri bingung dengan sikapnya, di sisi lain dia ingin tahu sosok bapak kandungnya, tapi di sisi lain, dirinya masih membatasi sikap dengan pria yang baru dikenalnya.


“Baiklah, kamu boleh panggil aku papa.” lanjut Johan.


Vasco hanya tersenyum dan mengangguk.


Pelayan datang dengan membawa segala jenis pesanan mereka. Johan mempersilahkan untuk menikmati hidangan. Saat makan, suasana hening dan masih kaku.


“Saya minta maaf.” ucap Johan saat usai menikmati makan siang mereka. Johan sadar, kelakuannya saat masa lalu mungkin masih menyisakan luka batin bagi Isti dan Aji.


“Saya tahu, sikap saya sangat keterlaluan terhadap kalian.” Johan menatap Aji dan Isti.


“Begitu juga dengan sikap Papa kepada kamu Vasco. Papa minta maaf.” lanjut Johan dan menatap wajah Vasco dengan sendu.


“Saya harap, kalian dapat memaafkan kesalahan saya, walaupun mungkin sangat sulit.”


“Kami sudah memaafkan. Bukan begitu, Love?” sahut Aji.


“Tentu, kami datang ke sini adalah bukti bahwa kami sudah memaafkan. Saat Vasco bertanya tentang bapak biologisnya memang sangat mengejutkan buat kami, dan siap tidak siap, kami harus menjelaskan saat itu juga.” Isti menerangkan.

Johan mengangguk dan tersenyum.


“Oh iya, aku dengar Pak Aji punya beberapa property disini. Apakah tidak sulit mengurus property dari Surabaya?” tanya Johan berusaha mencairkan suasana.


Aji pun bersemangat menjelaskan bisnisnya yang dimulai ketika pencarian istrinya, hingga kini mempunyai banyak relasi dan teman di kota ini. Isti hanya bisa mendengarkan dan bangga terhadap suaminya, dia merantau di kota ini hingga berhasil mengembangkan usaha.1


Percakapan mereka mengalir hingga Johan membicarakan tentang keluarga barunya.


“Aku sudah menikah lagi, pernikahan kami sudah 8 tahun.


Aku menghadapi cobaan yang berat di pernikahanku ini. Aku nggak tau…… mungkin ini hukuman dari Tuhan.


3 tahun setelah menikah, istriku baru bisa hamil. Tapi sayangnya bayi kami tidak bisa bertahan, istriku mengalami keguguran 2 kali, hingga dia sangat trauma dengan berita kehamilan.


Dan setelah 5 tahun menikah, kami di beri kepercayaan, dia melahirkan putri kecil kami yang pertama. Dan 2 tahun kemudian, lahir putri kami yang kedua. Setelah kelahiran putri kami yang kedua, Dokter melarangnya untuk hamil lagi, karena riwayat kesehatannya.


Padahal aku masih menginginkan anak laki-laki.” Johan bercerita dengan wajah penuh penyesalan.


Hening……


Tidak ada tanggapan dari Aji, Isti maupun Vasco. Mereka hanya bisa menatap Johan.


Lalu Johan melanjutkan.


“Emmmm…Apakah kalian tidak keberatan jika aku menganggap Vasco seperti anakku sendiri?” tanya Johan dengan hati-hati.


Dia tahu, dia pernah mengingkari Vasco sebagai anaknya, tapi sebagai lelaki dia juga menginginkan keturunan laki-laki.


“Love?” tanya Aji dan menatap istrinya.


“Iya! Tentu saja, kami serahkan ke Vasco. Bagaimana Kak?” Isti berganti menanyakan Vasco. Tentunya Vasco sedikit terkejut mendapat pertanyaan dari Ibunya.


“Vasco menyadari, bahwa secara biologis Vas adalah keturunan Papa. Tapi Vasco tidak bisa membohongi diri sendiri…..Vasco sangat menyayangi Ayah Aji dan Ibu, Vasco masih ingin tinggal bersama Ayah dan Ibu. Dan kita juga baru saja bertemu. Rasanya_”


“Papa tidak akan merebutmu dari Ayah dan Ibu, Nak! Aku ingin bertanya kepada kalian, dan tolong jawab dengan tulus?” Johan memotong pembicaraan.


Aji, Isti dan Vasco mengangguk.


“Aku boleh minta no ponsel Vasco?”


“Sementara ke mas Aji aja ya…” jawab Isti cepat, dia masih belum bisa mempercayai Johan walaupun sudah mendengar penyesalannya.


“Baik. Aji, jangan bosan menjawab pertanyaanku tentang Vasco ya…”ucap Johan dan melihat Aji.


Aji membalas dengan anggukan dan senyuman.


“Kalo aku ke Surabaya, bolehkan aku menemui kalian?” tanya Johan lagi.


“Tentu! Pintu rumah kami selalu terbuka untuk Papa nya Vasco.” Jawab Aji. Dia menyadari, bagaimanapun didalam tubuh Vasco mengalir darah Johan, dan dia tidak bisa menyangkalnya.


“Ajak sekalian istri dan anaknya. Mungkin kita bisa menjadi saudara.” ucap Isti dengan bijaksana.


“Ya benar! Kita akan menjadi keluarga besar. Bagaimana jika besok malam kita makan malam bersama? Aku ajak istri dan anak juga.” ajak Johan.


Mereka pun menyetujui ajakan Johan. Johan bercerita ke istrinya mengenai jamuan makan malam untuk keluarga mantan istrinya.


Saat makan malam, Johan beserta istrinya menyambut hangat dan ramah kehadiran keluarga Aji. Mereka cukup akrab dengan membicarakan berbagai macam hal. Mereka sama-sama menyadari, mereka sudah bahagia dengan pasangannya masing-masing.


“Besok pagi kami harus kembali ke Surabaya. Terima kasih atas hidangan makan malamnya.” ucap Aji saat bercengkerama dengan Johan usai makan malam.


“Tidak! Aku yang seharusnya berterima kasih. Aku masih diperbolehkan melihat anakku. Padahal_”


“Sudah! Kita semua sudah bahagia.” potong Aji, dia tidak mau membicarakan masa lalu.


Johan mengangguk dengan senyum hangat.


Dan esok pagi keluarga Aji kembali ke Surabaya dengan bahagia.


“Kita sudah tenang, tidak ada lagi yang kita sembunyikan, Love…” ucap Aji saat dipesawat.


“Iya mas. Sudah plong.” lanjut Isti.


Ternyata selama ini mereka juga merasa terbebani dengan identitas Vasco sebenarnya. Dan semua sudah terkuak, malah keluarga mereka bertambah dengan kehadiran keluarga Johan di kehidupan Aji dan Isti.


***


Tahun telah berlalu.


Saat ini Vasco terdaftar sebagai mahasiswa di Perguruan Tinggi.


Valdi kelas 12, sedangkan Nesa kelas 10.


Saat di sekolah, Nesa tak luput dari pantauan kakaknya atau sepupunya, dia benar-benar Little Queen.


Selain ketenaran tentang kerukunan keluarganya, kecantikan Nesa juga sangat menarik perhatian, terutama kaum Adam. Dia tumbuh menjadi gadis yang cantik, feminin, dan bentuk tubuhnya proposional. Namun sayang, para pemuda hanya bisa melihat keindahan makhluk Tuhan dalam hati saja.


Mereka tidak akan berani menggoda Nesa, karena tameng kakak dan saudara sepupu lainnya. Malah kadang Nesa mengangap sikap kakak dan sepupu bersikap berlebihan, over protective.


“Bu, Nesa dapat undangan ulang tahun Erlinda…..” ucap Nesa pada ibunya saat pulang sekolah.


“Kapan?”


“Minggu depan.”


“Lalu?”


“Nesa sama sapa?”


“Kan biasanya datang sama Nila.” sahut Isti sambil mengupas buah. Hingga saat ini, Nesa dan Nila masih tetap bersahabat baik, mereka sama cantiknya.


“Tadi Nila uda bilang, dia nggak bisa….. soalnya ada acara di rumah Neneknya.”


“Ya uda…kamu sama teman yang lain” sahut Isti dengan santai.


“Nesa nggak punya teman yang lain….” sahut Nesa lirih.


“kok bisa?! kamu jangan kuper lho Nes……jangan sombong! ” Isti sempat terkejut mendengar pengakuan anaknya.


“Maksudnya yang dekat seperti Nila nggak ada……kalo teman biasa ya banyak.”


“Jangan pilih-pilih teman Nes…..”


“Nesa nggak pilih-pilih, Bu…tapi Kakak mesti ikut campur….” ucap Nesa dengan memelas.


“Dulu waktu kelas 7, Nesa dan Nila dekat dengan si A, kak Vasco ngomel. ‘Kamu jangan berteman dengan si A, si A itu agak ganjen, genit….. kakak nggak suka’


Lalu kita coba berbaur dengan yang lain, kak Valdi bilang, ‘Jangan terlalu dekat sama si B, dia kalo ngomong kasar.’


Belum lagi si Dimas, kalo di kantin selalu duduk di dekat Nesa, katanya ‘supaya nggak ada yang ganggu’


Jadinya Nesa bingung, mau berteman sama sapa, sama ini nggak boleh, sama itu nggak boleh. Ya jadinya Nesa sama Nila mulu…….” Nesa melanjutkan keluhannya tentang kakaknya dan sepupunya yang over protective.


“Nes… berarti mereka sayang sama kamu. Dia nggak mau kamu terjerumus atau salah pergaulan. Kalo sama Nila kan uda mulai kecil, keluarga kita juga sama-sama kenal.”


“Bu, sampe kapan Nesa dipantau seperti ini? Nesa juga pengen punya teman yang lain. ”


“Jadi kamu mau melupakan Nila?”


“Nggak donk Bu…mana mungkin Nesa melupakan Nila, mulai kecil Nesa dan Nila uda lengket. Kalo kayak gini gimana? Nila nggak bisa, Nesa nggak punya teman…..terus Nesa datang ke ulang tahun sama sapa?”


“Ntar Ibu ngomong sama kakakmu, sapa yang bisa anter kamu…..”


“Ok” jawab Nesa patuh.


Sebenarnya Nesa bukan kuper atau sombong, gadis itu selalu membalas sapaan teman-temannya. Tapi karena kakaknya, dia membatasi diri, dan dia juga kuatir tentang salah pergaulan.


Setelah tiba di rumah, Isti berbicara ke Vasco lebih dulu, sebagai kakak pertama. Ternyata saat hari itu, Vasco tidak bisa menemani Nesa, karena ada acara di kampus.


Begitu juga dengan Valdi, dia juga tidak bisa menemani adiknya, dia harus berlatih intensif untuk kejuaraan renang di bulan berikutnya.


“jadi Nesa ditemani siapa?” tanya Ibunya kepada Valdi.


“Ntar Valdi atur dech Bu, tenang aja….” ujar Valdi menenangkan ibunya.


“Ok, ibu serahkan urusan Nesa ke kamu, pastikan Nesa ditemani dengan orang yang tepat.”


“Beres Bu!”


***


Esok harinya.


Saat jam istirahat Valdi menghampiri seorang pemuda.


“Hai…” sapa Valdi.


“Eh…kak Valdi!” sambut pemuda itu.


Setelah berbicara panjang lebar, Valdi meninggalkan pemuda yang bernama Rama, kebetulan dia seangkatan dengan Nesa namun beda kelas.


Valdi mengetahui jika adiknya sering mencuri pandang kepada Rama, dia menduga adiknya menyimpan rasa.


Valdi minta tolong Rama, agar Rama bersedia menemani Nesa ke acara ulang tahun, tentunya ditambah beberapa ancaman dan wejangan.


Beberapa hari sebelum acara ulang tahun.


Rama berdiri dibawah pohon, Nesa sempat melihat sekilas pemuda tampan itu, lalu dia mengalihkan pandangan ke lainnya.


Rama menatap Nesa yang sedang berjalan menuju pintu gerbang sambil mengumbar senyum.


“Nes, kayaknya Rama ngeliatin kamu!” Nila menyenggol tubuh Nesa dengan sikunya. Nila sebagai sahabat sering mendengar curhatan Nesa tentang Rama. Nesa pun mengaku kepada sahabatnya jika dia mengagumi pemuda ini.


“Jangan bikin GR donk, Nil! Dia pasti ngeliat cewek lain di belakang kita.” balas Nesa menutupi rasa senangnya (jika memang Rama benar menatap dirinya).


Nesa masih tetap menunduk malu, atau melihat ke arah Nila, dia tak berani melihat sosok Rama yang beberapa meter di depannya.


“Nggak usah muna dech. Kamu seneng kan di liatin dia…” ledek Nila.


“Apaan sich Nil….” rengek Nesa.


“Beneran Nes…dia ngeliatin kamu. Coba liat dech…” bisik Nila.


Nesa tak membalas ledekan sahabatnya, dia melihat sekilas sosok Rama, dan mata mereka sempat bertabrakan


“Cie…..saling pandang cie….” lagi-lagi Nila meledeknya, Nesa hanya menggelengkan kepala dan menahan sunggingan senyum yang berlebihan.


Langkah mereka pun makin mendekati dimana Rama berada.


“Nesa….” sapa Rama saat Nesa dan Nila melewati pemuda taman itu.


“I-Iya?” sapa Nesa berusaha tak gugup, Nila hanya tersenyum melihat sahabatnya yang salah tingkah.


“Ntar di ulang tahun Erlin, kamu sapa?”


“Mmmmm…masih belum ta_”


“Nggak ada yang nganter.” potong Nila dengan semangat. Nesa menatap Nila dengan mengernyitkan dahinya.


Rama tersenyum melihat interaksi 2 sahabat ini.


“Kalo nggak ada yang nganter, kamu sama aku aja . Gimana?”


Nesa terkejut mendengar ucapan Rama, pemuda idamannya, yang selalu dibicarakan bersama Nila, menawarkan diri menemaninya acara ulang tahun.


“Iya, Nesa pasti mau kok….” sahut Nila dengan lancang.


“Ap- Hm…..Ntar aku tanya kakak dulu ya, besok aku kabari.” Nesa menjawab bingung.


“Ok Nesa, aku tunggu besok pagi ya….” ujar Rama dengan senyum manisnya.


Akhirnya Nesa dan Nila pun melanjutkan langkahnya menuju pakiran mobil, dimana Pak Im (driver Nesa) sudah menunggu.


Di dalam mobil Nesa mengungkapkan rasa senangnya kepada Nila, sahabatnya pun ikut bahagia.


Saat sore hari, Nesa menghampiri Valdi yang sedang melihat TV sambil mengunyah keripik. Dia menceritakan pertemuan dan ajakan Rama.


“Kamu mau nggak di anter Rama?” tanya Valdi dengan menahan senyuman.


Nesa tersenyum merona mendengar nama idola disebutkan kakaknya.


‘Ya ampun….. cuma dengar namanya aja aku bisa girang seperti ini’ batin Nesa dengan degup jantung yang lebih cepat.


“Emang kakak nggak bisa nganter?” tanya Nesa masih menutupi rasa senang dan malunya.


“Kakak nggak bisa, jadwal latihan fisik…bulan depan kompetisi.” Valdi menanggapi santai.


“Emang nggak papa kak?”


“Maksudnya?”


“Kira-kira Ibu sama Ayah kasih ijin?” tanya Nesa hati-hati, karena baru kali ini Nesa akan keluar dengan orang lain yang belum dikenal oleh orang tua mereka.


“Kamu tanya aja sama Ibu!”


Tak lama Isti pun duduk bersama mereka, dan Nesa menceritakan tentang ajakan Rama.


“Kamu kenal dia Val?”


“Kenal Bu, dia seangkatan Nesa, tapi beda kelas.”


“Baik?”


“Hmmm, Baik kok…” jawab Valdi.


Akhirnya Isti mengijinkan anak gadisnya di jemput oleh teman prianya. Tentu saja ijin dari ibunya sangat membahagiakan Nesa.


Esok pagi, Nesa berangkat dengan wajah sumringah.


“Kayaknya seneng banget Nes…..kenapa?” tanya Nila saat didalam mobil bersama. Seperti hari biasa, Nesa dan Nila selalu berangkat dan pulang bersama.


Nesa bercerita mengenai ijin dari ibunya tentang acara ulang tahun bersama Rama.


Mereka pun sama-sama berteriak senang, Pak Rahmat selaku driver Nila hanya tersenyum melihat tingkah 2 gadis itu.


“Aku doain, kamu lanjut ama dia…..” seru Nila dengan nada bahagia.


“Beneran?! Kamu nggak ngiri?!” tanya Nesa dengan senyum merona.


“Aku nggak ngiri, nganan aja!” jawab Nila dengan terkekeh.


“Ih dasar!” Nesa mencubit lengan Nila, gadis itu pun berteriak dan tertawa.


“Cie….nggak sabar niye menunggu hari ulang tahun Erlin.” Nila meledek Nesa.


Nesa tak menjawab, dia memberikan cubitan-cubitan kecil di lengan Nila, juga menggelitik pinggang sahabatnya, dan lagi-lagi keramaian di dalam mobil terjadi.


Tiba di sekolah, Rama berdiri tak jauh dari tempat parkir.


Dia melihat Nesa dan sahabatnya turun dari mobil Nila.


Nesa tersenyum malu saat mata mereka bertabrakan.


‘Dia bener-bener cantik’ batin Rama.


“Nes, gimana?” tanya Rama langsung tanpa basa-basi.


“Aku ke kelas dulu ya…….” pamit Nila meninggalkan Nesa tanpa tahu jawaban sahabatnya.


“Eh Ja_”


“Kamu sama aku, kan kelas kita sebelahan. Kita ngobrol sambil jalan ya…..” potong Rama.


“Ok.” cicit Nesa menahan senyum.


“Jadi gimana?” tanya Rama yang berjalan di samping Nesa.


Kebersamaan mereka sangat menarik perhatian, karena Nesa yang selama ini diam, selalu bersama Nila, kali ini dia berjalan dengan Rama, salah satu idola cewek di sekolah ini.


‘serasi ya..’


‘pantas kok’


‘ini baru couple goal’


Dan masih dengungan lain tentang mereka, membuat gadis itu tersenyum bahagia.


“Nes…gimana?” tanya Rama lagi.


“Oh iya….kita boleh berangkat bareng” jawab Nesa dengan kaku, dadanya berdetak kencang.


“Ok, aku jemput 1 jam sebelum acara ulang tahun, kamu harus tampil cantik! eh! sekarang uda cantik kok!” Rama mulai menggombal.


“baru tau ya kalo aku cantik?!” sahut Nesa dengan bangga.


“Aku sibuk, jadi nggak nyadar…..”


“Kamu terlalu sibuk dengan cewek-cewek kamu.”


“Kok kamu tau?! ternyata kamu perhatiin aku ya?”


Nesa merona, dia tidak bisa menutupi rasa malu saat pria idamannya memergokinya bahwa dia sering memperhatikan.


“Sapa yang nggak tau kamu sich? Cowok yang sering di pepet cewek…..” ucap Nesa berusaha tenang.


Rama terkekeh mendengar ucapan Nesa.


“Iya, gara-gara mereka sering ngeributin, jadinya penglihatanku terhalang. Aku nggak bisa liat kecantikanmu…..” Rama lagi-lagi merayu.


“Receh…..Udah ya! Aku masuk dulu!” pamit Nesa sambil berbelok ke kelasnya.


Saat di kelas, Nesa tak luput dari ledekan Nila lagi.


Gadis itu hanya tersenyum dengan pipi yang merona menutupi rasa senang dan malunya.


Sabtu, hari ulang tahun.


Sejak sore Nesa tampak heboh di kamar, sesekali Isti berteriak.


“Nes, perlu bantuan?!” tanya Isti di depan kamar putrinya.


“Nggak Bu! Nesa bisa sendiri…..” jawab Nesa sopan.


Gadis ini sangat gembira, dia bingung sendiri, dia memikirkan akan bersikap bagaimana jika sedang berduaan bersama Rama.


Sekitar pukul 18.00 Isti mengetuk kamar Nesa.


“Nes, temannya uda datang…….”


Nesa tak menjawab, dia membuka pintu kamar.


“Cantiknya anak Ibu…..” puji Isti sambil membelai rambut anaknya.


“Jangan bikin Nesa GR donk Bu…”rengek Nesa manja dengan pipi yang bersemu.

Isti memberi wejangan supaya Nesa hati-hati. Isti tidak mau anaknya mempunyai cerita yang sama dengan dirinya. Nesa meyakinkan ibunya, bahwa dia bisa menjaga diri.


Nesa dan Isti melangkah ke ruang tamu, dimana ada Rama yang sudah di interogasi oleh ayahnya. Dan Nesa sempat mendengar pertanyaan yang diutarakan ayahnya.


“Ayah…….” sapa Nesa dengan lembut kepada Aji.


Aji pun berdiri, lalu menghampiri anak dan istrinya, Aji memeriksa dandanan putrinya, dia melihat istrinya dan rasanya ingin protes.


Namun Isti membalas dengan gelengan kepala.


“Gadis kecil ayah uda dewasa, kamu harus bisa jaga diri ya….Jam 9 harus sampek rumah!” bisik Aji sambil mencium kening putrinya.


Nesa mengangguk.


“Yah, boleh Nesa berangkat sekarang?” tanya Nesa.


Aji mengangguk, lalu Nesa dan Rama berpamitan.


“Love, siapa_”


“Sssssttttttt, jangan protes dan jangan ngomel! Putri kita sudah dewasa dan dia cantik. Aku juga kuatir …..” ucap Isti yang seolah tahu kecemasan dan kekuatiran suaminya.


“Ok!” jawab Aji lirih sambil menghela napas pasrah, sebelum di omeli istrinya.


“Kita naik mobil sendiri?” tanya Nesa berusaha mencairkan suasana.


“Iya, maunya sekampung di ajak semua?” Rama balik bertanya.


Nesa terkekeh mendengar candaan Rama. Pemuda itu membuka pintu untuk Nesa, dan gadis itu duduk dengan anggun dan sopan di bangku samping kemudi.


“Maksud aku, kamu kok bisa naik mobil sendiri? emang uda punya SIM?” tanya Nesa saat Rama duduk di sampingnya.


“Oh…maksudnya itu…., usia ku uda lewat 17. Aku sempat ikut orang tua keluar pulau, dan terlambat sekolah. Tapi aku nggak terlihat tua kan?”


“Masih kelihatan lebih tua ayahku kok…..”


Rama terkekeh mendengar kalimat yang diucapkan Nesa.


Didalam mobil mereka membicarakan tentang guru sekolah yang killer, guru favorit atau makanan kantin yang enak. Walaupun jantung Nesa berdegup kencang namun gadis itu berusaha bersikap tenang dan mengikuti alur pembicaraan jejaka yang dikaguminya.


Saat turun dari mobil, Rama mengenggam tangan Nesa.


“Ram, jangan gandengan ya…nggak enak kalo diliat yang lain.” Nesa menegur sopan, dia merasa keberatan dengan sikap Rama.


“Oh….Ok!” sahut Rama dan melepaskan genggamannya.


‘Sialan! Sok kecakepan! Baru kali ini ada yang nolak digandeng!’ Rama membatin.


Akhirnya mereka berjalan berdampingan.


Saat mereka memasuki cafe kecil, beberapa pasang mata menatap mereka dengan kagum. Mereka mencuri perhatian para tamu.


“Hai….” sapa Erlinda selaku tuan rumah.


“Selamat ulang tahun ya…” ucap Nesa sambil cipika-cipiki.


“Terima kasih…..”


“Selamat ulang tahun….” suara Rama


Erlinda mempersilahkan Nesa dan Rama untuk menikmati hidangan.


Rama mengajak Nesa berbaur dengan teman gadis yang lain. Nesa memcoba akrab dengan membalas pertanyaan mereka, karena baru kali ini dia pergi sendiri, biasanya ada Nila yang selalu ada di sisinya.


Tepat pukul 21.00, Nesa mengajak pulang, dan Rama menyanggupi mengantarnya kembali.


Mereka tiba dirumah sekitar 21.40, dan Nesa mendapat omelan dari Ayahnya.


Walaupun menerima ocehan ayahnya, namun hati Nesa sangat senang, dia tak sabar berbagi cerita dengan Nila.


Tiba di rumah, usai mengganti baju dia menghubungi Nila.


Nesa : Nilaaaaaaa…….!(teriak Nesa di ponsel, Nila pun menjauhkan ponselnya dari telinga sambil meringis)


Nila : Walaikum salam


Nesa : Eh Sorry….Assalamualaikum…(Nesa mengikik mendapat teguran sahabatnya)


Nila : kayaknya seneng banget mbak…..


Nesa : apanya yang seneng?! Aku abis di ceramahi Ayah, soalnya nyampek rumah jam 9 lebih…


Nila : Mampus! Seru banget kencannya….., sampe anak perawan lupa waktu.


Nesa tertawa mendengar kalimat sindiran sobatnya, dia pun bercerita tentang malam minggunya bersama Rama, jejaka itu memperlakukan Nesa dengan baik dan sopan.


Nila : jadi lanjut?


Nesa : nggak tau juga sich……pokoknya kita uda tukeran no HP.


Nila : cie….di WA donk…bilangin makasih atau apa gitu…..


Nesa : Nggak ah! Gengsi donk! Biar dia aja dulu……


Nila : Alah! Bilang nggak, tapi ngarep….Dasar Muna!


Nesa kembali mengikik mendengar tanggapan sahabatnya. Mereka kembali saling bercerita dan diselipi dengan candaan.


Hari ini Nesa kembali sekolah. Dia ingin mengetahui kabar pemuda idamannya setelah kencan sesaat mereka.


Namun saat tiba, Nesa menyapu pandangan di sekeliling, gadis itu tak melihat sosok Rama.


“Kangen ya?” tanya Nila seolah tahu benak sahabatnya.


Nesa tak menjawab, dia hanya tersenyum dengan pipi yang merona.


Saat pelajaran Bahasa Indonesia, mereka mendapat tugas untuk menyadur di salah satu novel yang mengandung salah satu majas. Ditulis berdasarakan judul, karya, tanggal terbit novel dan halaman kalimat.


2 gadis itu pun menuju perpustakaan, mereka berpencar.


Saat berjalan di salah satu lorong, Nesa mencium aroma yang dikenalinya. Dia tersenyum walaupun belum menemukan pemilik aroma yang dimaksud.


Perlahan Nesa berjalan mencari darimana aroma itu berasal, dan makin lama aroma semakin menguat. Nesa berdiri di sebelah lorong pemilik aroma.


‘Kemarin balik lagi ke party nya Erlinda?’ suara seorang pria.


‘Iya donk, rugi kalo nggak bisa menikmati sampe ending….’ jejaka idaman Nesa.


‘Nesa nya gimana?’


‘Mana aku tahu…..’


‘Lha, kan kemarin baru kencan!’


Rama tertawa pelan.


‘Aku disuruh kakaknya. Kamu tau Valdi? dia kan preman, siapa yang berani sama Valdi?’ (Hati Nesa mencelos saat mendengar pengakuan Rama)


‘Jadi nggak lanjut?’


‘Lanjut apa dulu nich?’


‘Biasanya kan kamu lanjut kencan berikutnya…..’


‘Males! sok cakep! di pegang tangannya aja, nggak mau…’


‘Nah! itu baru gadis bener, nggak murahan, jaga harga diri….lagian Nesa bukan sok cakep, dia emang masuk jajaran gadis cakep di sini’


‘Alah! Sok alim! Aku tau, dia suka sama aku. Harusnya dia seneng donk aku pegang tangannya…nggak seru! Lebih seru sama Diana, Tesa , Fani…..mereka bisa aku apa-apain.’4


‘Di apa-apain gimana?! Kalian uda…..’


‘Cuma making out aja, paling banter petting….’


‘pettingnya sampe gimana dulu?’


‘topless….’


‘gila kamu!’


‘itulah enaknya jadi cowok ganteng!’ disusul tawa lirih Rama.


Nesa meninggalkan lorong dengan hati kecewa.


Dia kecewa, ternyata kakaknya yang meminta Rama untuk menemaninya


Dia kecewa, ternyata Rama pernah melakukan hal yang tak senonoh dengan beberapa gadis


Dia kecewa, ternyata dia tidak di inginkan oleh pria idamannya.


Nesa mencari Nila, lalu berpamitan ke toilet.


Nesa tidak menangis, dia hanya duduk diam di dalam kelas. Beberapa teman menyapanya, hanya dibalas senyuman oleh Nesa.


Beberapa menit kemudian, Nila datang dan duduk di sebelahnya.


“Kenapa?” tanya sahabatnya.


Nesa hanya diam mengotak-atik ponselnya.


“Lagi dapat ya? aku bawa pembalut…”


Nesa menggelengkan kepala, dia tak melihat wajah Nila.


“Emang ada yang salah ama aku ya?” tanya Nila lagi.


Nesa menoleh perlahan ke Nisa, kini mereka berhadapan.


“Kita beneran sahabatan kan?” tanya Nesa menatap Nila.


Nila mengangkat kedua alisnya, dia tak paham pertanyaan Nesa.


“Hm?! Maksudnya gimana?” Nila bertanya balik.


“Kamu mau berteman, bersahabat sama aku, itu tulus kan?”


“Kok nanya gini sich?”


“Jawab Nil….”


“Nes, kita mulai TK bareng, rumah sekomplek! SD, SMP bareng walo beda kelas! SMA ini aja kita bisa sekelas. Pulang pergi sekolah juga bareng, kecuali ada yang sakit. Kamu nggak ada ortu, nginep di rumahku. Begitu juga sebaliknya. Maksud nya apa? Kamu bosen sama aku?!” Nila malah mengoceh panjang lebar.


“Bukan Nil! Bukan itu……..”


“Terus apa?!”


Akhirnya Nesa menceritakan tentang kakaknya Valdi yang meminta Rama bersedia menemaninya ke ulang tahun, dan dia juga bercerita tentang Rama bersama gadis lain.


“Kamu nggak diminta kak Vas, kak Val, Ayah atau Ibu kan?”


“Ya ampun Nes…..jadi gara-gara itu?!”


Nesa mengangguk pelan.


Nila terkekeh mendengar keraguan Nesa.


“Nes, aku anak tunggal. Pak Bagas dan Bu Agni tidak akan memperbolehkan putri semata wayangnya berteman sembarangan, mereka uda percaya sama kamu. Jadi walaupun aku tulus atau nggak…….. aku terpaksa berteman sama kamu.” celoteh Nila.6


“Sialan kamu Nil!” Nesa tertawa mendengar pengakuan sahabatnya. Nila pun ikut tertawa.


“Dan masalah Rama….kakakmu sayang banget sama kamu, apapun yang kamu inginkan, dia berusaha mengabulkan.”


“Tapi nggak gini caranya, aku berharap Rama benar mengajakku, tapi ternyata…….” Nesa mendengus kesal


“Bersyukurlah…. kamu masih selamat dari Rama. Di luar masih banyak cowok kok. Kamu mau bilang masalah ini ke kak Valdi?”


“Ya nggak lah…aku bukan tukang ngadu…lagian kalo aku bilang kak Valdi, wajah Rama pasti hancur.”


“Kamu layak dapat yang lebih baik, jangan sedih!”


“Nggak sedih..bukan sapa-sapanya juga. Cuma kecewa doank… Ntar abis les bahwa Inggris, kita ke salon yuk, uda lama nggak creambath.” ajak Nesa.


“Yuk lah…aku mau hairmask, rambut ku rontok.” Nila menanggapi.


Walaupun bibirnya sudah tersenyum, namun hati Nesa masih menyimpan sakit dan menyisakan trauma.


Bersambung



Popular posts from this blog

Bokong Besar Mamaku Yang Menyejukan Jiwa ( Chapter 12 End )

Lendir Pesantren ( Part 3 )

Tetangga Kontrakan STW