Pembantuku Sayang ( Part 2 )
Pembantuku Sayang ( Part 2 )
Aku jadi tambah berdebar-debar, birahiku semakin membuatku mata gelap. Kurapikan anak-anak rambut Imah yang kusut. Gadis itu menatapku penuh arti. Matanya yang bulat memandangku tanpa berkedip. Aku jadi semakin nekad.
“Kalau sama saya nggak serem?” tanyaku menegaskan dengan suara agak berbisik sambil mengusap pipi Imah. Babu manis itu tersenyum.
Entah siapa yang memulai, tahu-tahu kami sudah berciuman. Aku tidak peduli lagi.
Kusalurkan gejolak birahi yang selama ini tertahan dengan melumat bibir Imah. Dia membalas dengan tak kalah panas dan bernafsu. Dia bahkan yang lebih dahulu menarik tubuhku sehingga kami rebah di atas ranjang sembari terus berciuman.
Tanganku lasak meremas-remas buah dada Imah. Kupuaskan hasratku pada kedua gundukan daging kenyal yang selama beberapa hari terakhir ini telah menggodaku.
Imah pun tak tinggal diam. Sambil terus membalas lumatanku pada bibirnya, tangannya merayap ke balik celana pendek yang kukenakan. Pantatku diusap-usap dan diremasnya sesekali dengan lembut.
Ketika ciuman terlepas, kami berpandangan dengan nafas memburu. Imah membalas tatapanku dengan agak sayu. Bibirnya merekah, seakan minta kucium lagi. Kusapu saja bibirnya yang indah itu dengan lidah. Dia balas menjulurkan lidah sehingga lidah kami saling menyapu. Kemudian seluruh permukaan wajahnya kujilati. Imah diam, hanya tangannya yang terus merayap-rayat di balik celana dalamku.
Aku jadi tambah bernafsu. Lidahku merambat turun ke leher. Imah menggelinjang memberi jalan. Terus kujilati tubuhnya yang mulai berkeringat. Imah menggelinjang-gelinjang hebat ketika buah dadanya kujilati. “Geliii..” desisnya sambil mengikik-ngikik, dan itu malah membuatku tambah bernafsu. Daging-daging bulat montok itu terus kujilati, kukulum putingnya, kusedot-sedot dengan rakus, tentunya sambil kuremas-remas dengan tangan.
Payudara Imah yang lembut kurasa semakin mengeras, pertanda birahinya kian meninggi. Lebih-lebih putingnya yang mungil berwarna merah jambu, telah amat keras seperti batu.
Aku jadi semakin bersemangat. Sesekali mulutku merayap-rayap menciumi permukaan perut, pusar dan turun mendekati selangkangannya.
Imah mulai merintih dan meracau, sementara tangannya mulai berani meraba batang kemaluanku yang telah menegang sedari tadi.
Kurasakan pijitannya amat lembut, menambah rangsangan yang luar biasa nikmat. Aku tidak tahan, tanganku balas merayap ke balik celana dalamnya. Imah mengangkang, pinggulnya mengangkat. Kugosok celah vaginanya dengan jari. Basah. Dia mengerang agak panjang ketika jari tengahku menyelusup ke dalam liang vaginanya, batang penisku digenggamnya erat dengan gemas. Aku semakin tidak tahan, maka kubuka celana pendek dan celana dalamku sekaligus.
Imah langsung menyerbu begitu batang kemaluanku mengacung bebas tanpa penutup apa pun lagi. Dengan posisi menungging, digenggamnya batang kemaluanku, lalu dijilat-jilatnya ujungnya seperti orang menjilat es krim. Tubuhku seperti dialiri listrik tegangan tinggi. Bergetar, nikmat tak terkatakan.
“Imah udah tebak, pasti punya Bapak gede…” desis Imah tanpa malu-malu.
“Isep, Mah…!” kataku memberi komando.
Tanpa menunggu diminta dua kali, Imah memasukkan batang kemaluanku ke dalam mulutnya.
“Enak, Mah… enak banget…,” aku mendesis lirih, sementara tubuhku menggeliat menahan nikmat.
Imah semakin bersemangat mengetahui betapa aku menikmati hisapannya pada penisku. Batang kemaluanku dikocok-kocoknya dengan amat bernafsu sementara mulutnya mengulum dengan gerakan maju mundur. Sesekali lidahnya menjulur menjilat-jilat. Pintar sekali.
Belakangan baru kuketahui bahwa Imah itu seorang janda. Dia dipaksa kawin sejak usia 14 dengan lelaki berumur yang cukup kaya di desa. Ternyata suaminya seorang pemabuk, penjudi, dan mata keranjang. Satu-satunya yang disukai Imah dari lelaki itu adalah keperkasaannya di atas ranjang. Hanya itu yang membuatnya sanggup bertahan empat tahun berumah tangga tanpa anak. Baru setahun yang lalu suaminya meninggal, sehingga statusnya kini resmi menjadi janda.
Pantas saja nafsunya begitu besar. Dia mengaku bahwa hasrat seksualnya langsung bangkit kembali sejak pertama kali bertemu aku. Kenangan-kenangannya tentang kenikmatan bermain cinta terus menggodanya, sehingga diakuinya bahwa sejak hari itu dia terus berusaha untuk menarik perhatianku.
Nafsu yang menggebu-gebu, serta hasrat yang terpendam berhari-hari, membuat gadis itu menjadi liar tak terkendali. Sambil terus mengulum dan menjilat-jilat batang kemaluanku, tubuhnya beringsut-ingsut hingga mencapai posisi membelakangi dan mengangkangi tubuhku. Pantatnya yang bulat, besar seperti tampah, tepat berada di depan wajahku. Kuusap-usap pantatnya, lalu kuminta lebih mendekat sambil kuturunkan celana dalamnya. Dia menurut, diturunkannya pinggulnya hingga aku dapat mencium selangkangannya.
Terdengar dia mendesis begitu kujulurkan lidahku menyapu permukaan liang vaginanya yang merekah basah. Kedua pahanya mengangkang lebih lebar, sehingga posisi pinggulnya menjadi lebih ke bawah mendekati mukaku. Kini aku lebih leluasa mencumbu kemaluannya, dan aku tahu, memang itu yang diharapkan Imah.
Kusibakkan bulu-bulu halus di seputar selangkangan babu cantik yang ternyata mempunyai libido besar itu. Kugerak-gerakkan ujung lidahku pada klitorisnya. Kuhirup baunya yang khas, lalu kukenyot bibir vaginanya dengan agak kuat saking bernafsu. Imah merintih. Tubuhnya sedikit mengejang, hisapannya pada kemaluanku agak terhenti.
“Jangan berhenti dong, Maaaahh,” desisku sambil terus menjilat-jilat vaginanya.
“Imah keenakan, Pak…” jawab Imah terus terang. Lalu kembali dia mengulum sambil mengocok-ngocok batang kemaluanku.
Dengan bernafsu dia terus berusaha menjejal-jejalkan batang penisku sepenuhnya ke dalam mulutnya, tetapi tidak pernah berhasil karena ukuran tongkat wasiatku itu memang cukup luar biasa: gemuk, dan panjangnya hampir 20 cm!
Aku membalas dengan merekahkan mulut vaginanya dengan kedua tangan. Lubang surgawi itu menganga lebih lebar, maka kujulurkan lidahku lebih ke dalam. Imah membalas lagi dengan menghisap-hisap batang kemaluanku lebih cepat dan kuat. Aku tak mau kalah, kutekan pantatnya hingga kemaluannya menjadi lebih rapat pada mukaku, lalu kujilat dan kuhisap seluruh permukaan liang kemaluannya.
“Ooooohhh… Imah nggak kuattt….” terdengar Imah mengerang tiba-tiba. Aku tak peduli. Aku justru jadi semakin bersemangat dan bernafsu mencumbu kemaluan Imah. Gadis itu juga kian liar. Tangan dan mulutnya semakin luar biasa cepat mengerjai batang kemaluanku, sementara tubuhnya menggeliat-geliat tak terkendali. Aku tahu birahinya telah teramat sangat tinggi, maka kukomandoi dia untuk rebah menelentang, lalu segera kutindihi tubuh montoknya.
“Enak, Mah?” tanyaku.
“Enak banget, Pak… Imah nggak tahan…”
“Kamu mau yang lebih enak, kan?”
“Ya mau, dong…” Imah nampak masih sedikit malu-malu, tapi jelas dia tidak dapat lagi mengontrol nafsunya. Wajahnya yang biasanya lugu, kini nampak sebagai perempuan berpengalaman yang sedang haus birahi.
“Kamu pernah ngent*t, Mah?” tanyaku lembut, takut dia tersinggung. Tapi dia malah tersenyum, cukup bagiku sebagai pengakuan bahwa dia memang sudah pernah melakukan itu.
“Kamu mau?” tanyaku lagi. Imah menutup matanya sekejap sebagai jawaban.
“Buka dulu dasternya, ya?”
Dalam sekejap, Imah telah bertelanjang bulat. Aku juga membuka kaos, sehingga tubuh kami sama-sama bugil. Polos tanpa sehelai benang pun. Imah memintaku mematikan lampu kamar, tapi aku menolak. Aku justru senang menonton keindahan tubuh Imah di bawah cahaya lampu yang terang benderang begitu.
”Malu, ah, Pak…” kata Imah dengan nada manja, sementara aku memandangi sepasang payudaranya yang bulat, besar dan padat.
“Saya naksir ini sejak pertama kamu masuk,” kataku terus terang sambil mengecup puting susunya yang sebelah kanan, disusul dengan yang sebelah kiri.
“Imah tau,” jawab Imah tersipu. “Tapi Imah pikir, Bapak mana mau sama Imah?!”
“Sejak hari pertama, saya udah ngebayangin beginian sama kamu.”
“Kok sama sih?! Imah juga…”
“Bohong!”
“Sumpah! Apalagi abis liat Bapak gituan sama Ibu… Seru banget, Imah jadi ngiri…”
“Kamu ngintip, ya?”
“Bapak juga tau, kan?”
Sambil berkata begitu, tangan kanan Imah menggenggam batang penisku. Kedua pahanya mengangkang memberi jalan dan pinggulnya mengangkat sedikit. Digosok-gosokkannya ujung batang kemaluanku pada mulut vaginanya yang semakin basah merekah.
Aku membalas dengan menurunkan pinggulku sedikit. Saat itu di benakku terlintas wajah istri dan anakku, tetapi nafsu untuk menikmati surga dunia bersama Imah membuang jauh-jauh segala keraguan. Bahkan birahiku semakin bergelora begitu aku memandang wajah Imah yang telah sedemikian sendu akibat birahi.
“Paaak….” terdengar desis suara Imah memanggilku teramat lirih. Kedua tangannya mengusap-usap sambil sedikit menekan pantatku, sementara batang penisku telah penetrasi sebagian ke dalam vaginanya.
Kutekan lagi pinggulku lebih ke bawah. Batang penisku bergerak masuk inci demi inci.
Kurasakan Imah menahan nafas. Kutahan sejenak, lalu perlahan justru kutarik sedikit pinggulku. Imah membuang nafas. Kedua tangannya mencengkeram pantatku. Aku mengerti, kutekan lagi pinggulku. Kembali Imah menahan nafas. Dua tiga kali kuulang seperti itu. Setiap kali, kemaluanku masuk lebih dalam dari sebelumnya. Dan itu membuat Imah keenakan. Dia mengakuinya terus terang tanpa malu-malu. “Bapak pinter banget…” desisnya sambil mencubit pantatku, sesaat setelah aku menekan semakin dalam. Batang penisku telah hampir amblas seluruhnya. Imah cukup sabar menikmati permainanku, tetapi akhirnya dia tidak tahan.
“Imah rasanya kayak terbang…” dia meracau.
“Kenapa?”
“Enakh… Masukin semua atuh, Paak… supaya lebih enak…” Berkata begitu, tiba-tiba kedua tangannya merangkul dan menarik leherku. Diciuminya mukaku dengan penuh nafsu.
“Imaaaahhh.” bisikku sambil membalas menjilat-jilat permukaan wajahnya.
“Paak…”
Aku jadi ikut-ikutan tidak tahan, ingin segera menuntaskan permainan. Maka dengan agak kuat kutekan pantatku dalam-dalam, sehingga batang kemaluanku terbenam sepenuhnya di liang vagina Imah. Anak itu mengerang lirih, “Ssshhh…. aaaahhhh…, sssssssshhhh….., aaaaaaaahhhh….”
Dalam beberapa menit, kami bersanggama dalam posisi konvensional. Aku di atas, Imah di bawah. Itu pun sudah teramat sangat luar biasa nikmat. Ternyata Imah pintar sekali.
Pinggulnya dapat berputar cepat seperti gasing, mengimbangi gerakan penetrasiku pada vaginanya. Setengah mati aku mengatur gerakan sembari terus mengendalikan kobaran birahiku. Kadang aku menekan dengan gerakan lembut satu-dua, sesekali kucepatkan dan kukuatkan seakan hendak menjebol dinding vagina Imah.
Rupanya Imah termasuk type perempuan yang sangat panas dan liar dalam bermain cinta. Itulah justru yang kelak membuatku demikian tergila-gila kepadanya sampai-sampai tidak dapat lagi menghentikan perselingkuhan kami. Setiap kali aku berniat berhenti, bayangan erotisme Imah membuatku justru ingin mengulang-ulangnya kembali.
Tubuhnya tidak pernah berhenti bergoyang, seiring dengan erangan dan desahannya. Setiap kali aku menekan kuat-kuat, dia justru mengangkat pinggulnya tinggi-tinggi sehingga kemaluan kami menyatu serapat-rapatnya. Bila aku menekan dengan gerakan lembut satu-dua, dia mengimbangi dengan menggoyangkan pinggulnya seperti penari jaipong. Nikmatnya tak dapat kulukiskan dengan kata-kata.
Aku merasa dinding pertahananku hampir jebol. Kenikmatan luar biasa yang kurasakan dari perlawanan Imah yang erotis sungguh tidak tertahankan lagi. Padahal baru beberapa menit. Aku segera mengendalikan diri, kutarik nafas panjang-panjang, lalu kutarik tubuhku dari tubuh Imah.
Aku menelentang, dan kuminta Imah menaiki tubuhku. Dia menurut. Dengan gerakan yang sangat cepat, dia segera nangkring di atas tubuhku. Diraihnya batang kemaluanku yang terus mengacung keras seperti tugu batu, dan diarahkannya kembali pada liang vaginanya.
Keringat menetes-netes dari wajahnya yang manis. Kuraih sepasang payudaranya yang bergelantung bebas, kuremas dan kuputar-putar dengan lembut. Imah mendesah sambil menekan pinggulnya agar batang kemaluanku melesak lebih dalam.
“Nggghhh….. sshhhh….aahhhh….,” kembali dia merintih dan mendesah.
“Kenapa, Maah?”
“Ennaakh…, enak, Paak….”
“Kamu pinter.”
“Bapak yang pinter! Imah bisa ketagihan kalau enak begini… Imah pingin ngent*t terus sama Bapak…”
“Kita ngent*t terus tiap hari, Mah…”
“Bapak mau?”
“Asal Imah mau.”
“Imah mau banget atuh, Pak. Enak banget ngent*t sama Bapak….”
“Ayo, genjot, Mah.. Kita main sampai pagi!”
Bersambung