Preman Masuk Pesantren

    ( Part 32 ) 


32. Kegilaan Apa Lagi, Ini?


"Maksud Pak Yai, bagaimana?" tanyaku berusaha menerka apa yang sedang dipikirkannya. Apa yang sedang direncanakan oleh otak liciknya, agama hanya menjadi topeng buatnya.


"Datanglah setelah semua santri tidur, tidak ada yang boleh melihatmu datang ke sini. Sekarang kamu bisa kembali, ingat tidak ada yang boleh tahu." jawab Kyai Amir tegas, tatapan matanya begitu mencurigakan.


Dengan langkah gontai aku meninggalkan rumah Kyai Amir, tepat di bawah pohon yang ada bale balenya Nur memanggilku dengan suaranya yang khas.


"Mas Zaka, ada titipan surat dari Nyai Jamilah.!" kata Nur mengangsurkan surat dalam amplop, aku menerimanya dengan heran. Setelah surat kuterima, Nur meninggalkanku tanpa mengucapkan salam.


Aku membuka surat dari Nyai Jamilah, membacanya dengan teliti.


To Zaka.​


Bawa aku secepatnya meninggalkan tempat ini, aku sudah tidak tahan dengan perlakuan Kyai Amir kepadaku.


dari Istrimu, Jamilah.​


oooooOooooo​


Aku menatap gelisah jam dinding yang bergerak pelan, setiap gerakan jarum panjang terlalu lambat tidak seperti biasanya. Farhan dan dua orang santri yang berada satu kamar denganku, masih sibuk menghafal ayat ayat Suci Al Qur'an dengan khusyu. Setiap ayat, bahkan huruf berusaha mereka baca dengan benar, bahkan beberapa kali mereka mengulang setiap kali ada yang salah dengan bacaan mereka. Aku duduk gelisah sambil memegang kitab Jurumiyah, Milhatul I’rab dan Nazham Imrithi , tiga kita yang sama sekali belum aku kuasai. Aku hanya membalik balikan halaman kitab Jurumiyah seakan akan aku sedang menghafal, padahal aku berharap ke tiga santri itu segera berhenti menghafal ayat Suci Al Qur'an agar aku terbebas dari kegelisahan ini.


Harapanku mulai terkabul, satu demi satu santri meletakkan Al Qur'an pada tempat yang semestinya. Terakhir Farhan mengikuti jejak ke dua temannya, dia menaruh Qur'an yang sudah satu jam dia hafalkan. Dia tersenyum melihatku yang sedang membaca kitab Jurumiyah untuk mengusir kegelisahanku yang tidak kunjung reda, setiap huruf yang ada di kitab Jurumiyah lewat begitu saja tanpa ada satupun yang berhasil kuhafal.


"Kamu kenapa tidak menghafal Qur'an, Mas? Kenapa masih berkutat dengan kitab Jurumiyah, Milhatul I’rab dan Nazham Imrithi, ilmu alat yang seharusnya sudah hafal?" tanya Farhan heran melihat tiga buah kitab yang berada di pangkuanku, aku tersenyum malu dengan pertanyaan Farhan. Aku menoleh ke arah dua santri yang sudah memejamkan mata, berharap mereka sudah tidur dan tidak mendengar perkataan Farhan


"Aku sudah lama meninggalkan pondok, sudah sangat banyak yang aku lupa. Terakhir aku mondok 5 tahun yang lalu dan setelah keluar pondok, aku tidak pernah membuka kitab ilmu alat." jawabku pelan agar dua santri lainnya tidak mendengar percakapan kami. Aku mulai merasa tidak nyaman dengan pertanyaan Farhan, seakan dia sedang berusaha membuka kedokku yang tertutup rapat.


"Besok saja dilanjutkan Mas, sudah malam." kata Farhan merebahkan tubuhnya di atas tikar yang baru saja ku ganti dengan tikar baru. Tikar yang kubeli saat sampai karena tikar lama sudah mulai banyak yang sobek dan rasanya tidak nyaman walau di bawah tikar kami alasi dengan kardus agar menjadi lebih hangat dan nyaman saat tidur.


"Iya..!" jawabku singkat, aku ikut merebahkan diri setelah mematikan lampu. Mataku menerawang menatap langit langit kamar yang sudah memudar warna aslinya, aku melihat setiap detil ornamen yang tercipta karena waktu. Seolah menyiratkan sesuatu tentang kehidupan manusia yang akan selalu berubah tanpa kita sadari.


Aku menoleh ke arah Farhan, matanya terpejam tenang membuatku merasa iri. Hidupnya lurus, seolah semua kejadian tidak membuatnya pusing kecuali kematian Rahmat yang membuatnya ketakutan. Kematian yang hingga kini pelakunya belum tertangkap.


Jam 10 pas, aku kembali menoleh ke arah Farhan dan kedua santri lainnya, melihat gerakkan perut dan dadanya untuk memastikan mereka sudah terlelap dalam alam mimpi yang indah. Perlahan aku bangun dan kembali melihat ke arah Farhan dan dua santri lainnya untuk memastikan mereka sudah lelap dan tidak akan terbangun saat aku keluar dari kamar yang sudah menyiksaku selama beberapa jam.


"Mas, mau ke mana?" tanya Farhan membuatku kaget, ternyata dia belum tidur seperti dugaanku. Hm, kebohongan apa lagi yang akan aku katakan kepadanya. Farhan tidak boleh tahu aku akan ke rumah Kyai Amir, dia pasti akan bertanya macam macam. Sedangkan Kyai Amir sudah menyuruhku untuk merahasiakan hal ini, tidak ada yang boleh tahu.


"Akkku...!" aku tidak meneruskan perkataanku,, suara dengkurannya yang halus dan tenang memastikan itu. Ternyata Farhan hanya mengingau. Walau dalam penerangan sangat minim, mataku yang terlatih bisa melihat mata Farhan terpejam dan gerakan dadanya teratur. Aku menarik nafas lega, tidak perlu lagi aku berbohong.


Aku meneruskan langkahku dengan berhati hati jangan sampai menginjak atau tersandung tubuh santri lain yang akan membuat mereka terbangun dan aku harus mengarang kebohongan lain agar mereka tidak curiga. Hm, aku merasa kembali ke masa lalu saat mengendap keluar dari pondok hanya untuk bertemu dengan Teh Nyai. Aku tersenyum membayangkan semua kegilaan itu dan sekarang aku akan mengalaminya lagi. Bedanya sekarang orang yang akan aku datangi adalah ibu kandungku sendiri, itu menurut cerita Teh Euis dan aku berharap itu tidak benar.


Udara dingin menerpa tubuhku saat tiba di luar kamar, pelan pelan aku menutup pintu kamar. Mataku yang terlatih melihat keadaan sekeliling, memastikan tidak ada orang yang melihatku. Aman, aku yakin karena aku sudah terbiasa dengan situasi ini. Aku bisa membedakan bayangan pohon atau orang di dalam kegelapan, semuanya terjadi karena pekerjaanku selama ini, baik sebagai pencuri dan perampok.


"Mas Zaka..!" suara Farhan menahan langkahku, sepertinya kemampuanku mulai berkurang sehingga menganggap Farhan tadi hanya mengigau. Aku berbalik melihat pintu kamar masih tertutup rapat, perlahan aku menempelkan telingaku ke daun pintu untuk mendengar suara di dalam kamar. Hening, hanya suara dengkur halus dari tiga orang yang berada di dalam kamar.


"Mas Zaka, kenapa Rahmat harus mati terbunuh..!" seru Farhan diiringi suara isak tangis pelan, perkataan yang sama seperti saat mayat Rahmat ditemukan. Mengigau, aku yakin Farhan sedang mengigau. Aku baru ingat, Farhan sering mengugau hal yang sama.


Aku meneruskan langkahku ke samping, secepat kilat aku menyelinap di balik kegelapan malam. Sengaja aku mencari tempat gelap yang terlindung oleh pepohonan rindang, mataku terus berkeliling mengawasi setiap tempat untuk memastikan semuanya aman tanpa ada yang melihat keberadaanku.


Tiba tiba aku melihat sosok yang bergerak tidak jauh dari hadapanku, segera aku menyelinap ke balik pohon mangga. Aku memperhatikan sosok itu yang terus berjalan ke arah rumah Kyai Amir, siapa orang itu dan kenapa menuju rumah Kyai Amir? Aku berjalan pelan mengikutinya dengan berhati hati, aku harus tahu siapa orang itu dan mau apa dia menuju rumah Kyai Amir. Bisa saja dia orang jahat atau seperti yang pernah diceritakan Farhan, suami Surti berada di sini, bersembunyi dan setiap saat bisa menuntut balas.


Aku berusaha menjaga jarak agar orang itu tidak mengetahui keberadaanku, sekilas orang itu memperhatikan sekelilingnya dan aku segera bersembunyi di tempat yang menurutku aman sebelum orang itu menoleh ke arahku. Situasi seperti ini mengingatkan ku dengan permainan petak umpet saat aku kecil, permainan yang ternyata sangat berguna saat aku dewasa dan menjadi pencuri dan perampok. Sayang, permainan tradisional perlahan mulai hilang, anak anak sekarang lebih sibuk dengan gadget dari pada bermain dengan teman sebayanya. Padahal banyak permainan tradisional yang sangat baik untuk perkembangan mental dan kecerdasan anak.


Kembali orang itu berjalan melintasi tempat yang lebih terang, aku memaki dalam hati karena tidak bisa melihat wajahnya dari belakang. Orang itu bergerak cepat ke samping rumah Kyai Amir, aku menahan langkahku untuk mengikutinya. Orang itu akan bisa mengetahui keberadaanku kalau aku terus mengikuti, mau tidak mau aku berjalan ke arah berlawanan dengannya, jalan melingkar yang ditumbuhi oleh semak dan pohon dan yang pasti tempat yang aku lalui gelap sehingga akan menyamarkan keberadaanku yang berpakaian serba hitam.


Sit, ke mana orang itu, dia menghilang seperti hantu. Mataku berusaha melihat ke setiap penjuru pekarangan sampimg rumah dan juga sekelilingku, ke setiap tempat yang bisa dijangkau dengan penglihatanku. Aku berjalan ke arah belakang rumah dengan lebih berhati hati, bisa saja orang itu menyadari kehadiranku dan sengaja menungguku lengah dan kalau aku lengah, bulu kudukku langsung berdiri membayangkan sebuah benda tajam menebas leher belakangku. Aku meraba tengkukku dan bersyukur, tidak ada darah yang mengalir akibat tebasan senjata tajam.


Di halaman belakang pun aku tidak melihat kehadiran orang itu, kemana orang itu menghilang? Apa orang itu masuk ke dalam rumah Kyai Amir? Tapi aku tidak melihat tanda tanda pintu terbuka karena kalau pintu dibuka akan terdengar suara saat palang pintu ditarik dari tempatnya, aku yakin suaranya akan terdengar jelas di malam sesunyi ini. Dan telingaku yang terlatih, tidak akan melewati hal tersebut.


"Aku pikir kamu tidak akan datang. zak..!" sebuah suara dan tepukkan di pundak membuat jantungku nyari copot, benar dugaanku orang ini sudah mengetahui keberadaanku dan sengaja menjebakku. Reflek aku berbalik siap menghantam wajah atau apa saja yang bisa dikenai dari tubuhnya dan tanganku terkulai lemas begitu mengetahui orang itu, rasa terkejut membuatku lupa dengan suaranya.


"Pak Yai..!" seruku segera mencium tangan Kyai Amir setelah berhasil mengendalikan rasa terkejutku, ternyata orang yang kuikuti sejak tadi adalah Kyai Amir. Yang jadi pertanyaanku, kenapa Kyai Amir mengendap endap seperti maling? Apa yang sudah atau akan dilakukannya sehingga dia mengendap endap seperti itu, aku semakin mencurigainya. Dia lebih pantas sebagai penjahat dari pada ulama, cerita Teh Euis semakin memperkuat kecurigaanku.


"Kamu pasti bertanya dalam hati, kenapa aku bertingkah aneh seperti ini?" tanya Kyai Amir berhasil menebak jalan pikiranku, untung kami berada di tempat gelap sehingga bisa menyamarkan ekspresi wajahku.


"Eh, saya pikir ada yang berniat jahat, tidak tahunya Pak Yai." jawabku berusaha menghindari pertanyaannya yang bisa menjebakku.


"Aku memang sengaja mencarimu, kupikir kamu tidak akan datang." jawab Kyai Amir, aku merasa janggal dengan alasannya yang menurutku mengada ada. Mana ada santri yang tidak datang saat dipanggil oleh Gurunya, bahkan aku seorang residivis pun akan tetap datang seperti permintaannya.


"Saya pasti datang walau saya masih merasa heran, kenapa Pak Yai menyuruh saya datang malam setelah semua santri tidur?" aku tidak bisa lagi untuk tidak bertanya, walau aku sudah menduga apa yang diinginkan oleh Kyai Amir. Pasti sama dengan apa yang diinginkan Kang Jaja, tapi sekarang yang aku hadapi adalah ibu kandungku sendiri. Apa aku bisa melakukannya, menyetubuhi ibu kandungku sendiri? Gila, apa bedanya aku dengan seekor binatang.


"Kita bicara di dalam, ayo ikut aku." jawab Kyai Amir mendahuluiku berjalan ke arah pintu dapur yang tertutup, gerak geriknya seperti sedang menyimpan sebuah kebusukan. Apa dia tidak tahu dengan peribahasa yang mengatakan : Serapat rapatnya menyimpan bangkai, baunya akan tetap tercium. Kenapa Kyai Amir tidak mengajakku lewat pintu depan?


"Nyai, ini aku..!" seru Kyai Amir pelan, seakan dia takut suaranya terdengar oleh orang lain. Apa mungkin suaranya akan terdengar Nyai Nur, kecuali sejak awal Nyai Nur sudah menunggu di balik pintu.


Klotak, suara palang pintu yang dilepas dari tempatnya dan pintu terbuka. Gila, ternyata Nyai Nur bebar benar sudah menunggu di dapur, permainan apa yang sebenarnya mereka rencanakan? Aku semakin percaya dengan semua cerita Kang Jaja, Kyai Amir dan Kang Jaja mempunyai kelainan jiwa yang sama. Terlebih aku melihat pakaian Nyai Nur yang serba ketat walau dia tetap memakai jilbab yang menyembunyikan rambut indahnya dan juga lehernya yang jenjang menggoda iman setiap pria normal.


"Kenapa kamu melotot, melihatku? Pengen?" goda Nyai Nur meremas payudaranya walau ada Kyai Amir, Nyai Nur sama sekali tidak merasa terganggu, bahkan dia meraba kontolku yang tersembunyi di balik sarung.


"Nyai...!" seruku kaget, dia adalah ibuku. Tidak pantas melecehkan anaknya sendiri, apa lagi aku sudah tumbuh menjadi seorang pemuda gagah segagah batang kontolku yang perkasa.


"Nyai...!" seru Kyai Amir menatap Nyai Nur membuatku takut dan was was Kyai Amir akan murka, ternyata tidak. Kyai Amir tertawa kecil melihat kebinalan Nyai Nur. Kyai Amir memberiku isyarat mengikutinya masuk setelah pintu dapur kututup rapat.


Aku mengikuti Kyai Amir masuk dengan jantung berdegup kencang, aku sadar apa yang akan terjadi sekarang. Tapi aku harus menguatkan diri untuk menjalani semua kegilaan ini demi sebuah rencana besar yang disusun dengan Kang Jaja dan Teh Euis lagi pula belum tentu Nyai Nur adalah ibu kandungku seperti cerita Teh Euis.


"Duduk, Zak..!"Kyai Amir menyuruhku duduk di bale kayu yang terdapat di dapur, di atas bale sudah tersedia dua gelas wedang jahe yang aromanya menyegarkan dan kendi tanah liat berisi air putih yang biasa diminum tanpa menggunakan gelas.


"Kenapa kita harus bicara selarut ini dan tidak di tempat biasanya, rasanya saya merasa ada yang janggal atau Pak Yai ingin membicarakan sesuatu yang sangat penting yang tidak boleh diketahui orang lain?" tanyaku setelah tidak mampu menahan diri lagi untuk bertanya, padahal dalam sistem santri, tidak sopan menanyakan maksud Kyai yang memanggilnya atau menyuruhnya melakukan sesuatu. Kepatuhan adalah syarat mutlak yang menurut kepercayaan santri akan membuat hidup mereka lebih barokah dan dimulaikan Allah.


"Aku ingin kamu melakukan sesuatu untukku, tentu sebagai imbalan atas usahaku mengurus semua pernikahanmu dengan Shinta." kata Kyai Amir membuatku muak, aku tidak pernah minta dinikahkan dengan Shinta, justru situasi ini akan mempersulit dan terbukti sudah mempersulitku.


"Pak Yai, ingin aku melakukan apa? kalau aku bisa melakukannya, aku akan melakukannya." jawabku seolah tidak tahu apa yang diinginkannya. Padahal aku sudah bisa menduganya dan tubuhku merinding membayangkan aku harus menyetubuhi ibu kandungku sendiri, walau selama ini kami nyaris tidak mempunyai hubungan batin yang erat.


"Aku tahu kamu pernah beberapa kali berselingkuh dengan istriku, Nyai Nur." jawab Kyai Amir, entah kenapa aku tidak merasa terkejut Kyai Amir mengetahuinya. Andai aku tidak diberitahu Teh Euis, mungkin saat ini jantungku sudah copot dari tempatnya.


"Itttu...!" aku pura pura kaget mendengar tuduhan Kyai Amir, berusaha meniru akting para pemain sinetron yang kadang kala aku tonton saat sedang jenuh di rumah. Aku tidak tahu, aktingku bisa mengelabui Kyai Amir atau tidak dan aku tidak peduli dengan hasil akting amatiranku.


"Nggak usah takut, Zak. Kyai Amir tidak akan marah, tapi dia akan menghukummu karena perbuatanmu." bisik Nyai Nur memelukku dari belakang, tangannya membelai dada bidangku, membuatku merinding geli. Bukan hanya itu, aku merasakan perasaan lain yang sempat hilang dalam hidupku, Ya Tuhan perasaan inikah yang selama ini kucari. Tidak, apa yang kurasakan hanyalah ilusi, kesadaranku kembali pulih.


Apa yang dikatakan Teh Euis benar, dia tidak berdusta ternyata ibu kandungku dan Kyai Amir mempunyai kelainan jiwa. Kelainan yang sama kutemui dari Kang Jaja dan Teh Euis, sehingga aku tidak terlalu gugup atau ketakutan saat Nyai Nur dengan godaannya yang liar berusaha membangkitkan birahiku di hadapan Kyai Amir.


"Nyai, jangan...,!" aku berusaha melepaskan diri dari pelukan Nyai Nur yang jujur selalu membuatku merasa nyaman, ada sesuatu yang berbeda saat Nyai Nur memeluk dan mencumbuku dengan keliarannya yang unik karena tidak membuatnya jadi murahan.


"Kenapa, Sayang? Kamu harus dihukum karena sudah berani ngentotin Nyai tanpa sepengetahuan Gus Mir, bukan begitu Gus?" pelukan dan ciuman Nyai Nur semakin liar di leherku, menggelitik kesadaranku bahwa yang sedang mencumbuku adalah Ibu kandung yang terpaksa membuangku. Bukan salah Nyai Nur yang sejak awal ingin merawatku, Kyai Amir yang sudah merenggutku dari pelukan hangat ibuku, merenggutku hingga tidak bisa merasakan semburan ASI dari pada payudaranya yang montok.


"Nyai..!" Tuhan, aku bisa merasakan pelukan hangat seorang ibu yang selama ini tidak pernah kurasakan. Mataku terpejam, menikmati kehangatan Nyai Nur, kehangatan seorang ibu yang membuatku merasa bahagia. Bukan kebinalan dan birahi yang membuatku menjadi liar, memacu birahi Nyai Nur.


oooooOooooo​


"Zaka, ambilkan popok di lemari." teriak ibu mengagetkanku yang sedang asik menonton acara tv kesayanganku, larut dalam dunia hayal yang ditawarkan.


"Iya Bu, sebentar." jawabku malas, acara sedang seru serunya, aku tidak mau melewatinya walau aku sudah menontonnya berkali kali, aku tidak pernah merasa bosan karena inilah duniaku.


"Zaka, jangan malas kamu. Masih untung aku mau merawatmu, dasar anak jadah." seru ibu dengan suara meninggi diiringi sebuah benda keras menghantam belakang kepalaku.


Aku menggigit bibir menahan sakit yang tidak seberapa dibandingkan sakit di hatiku, kebencianku semakin berkarat ke wanita yang selalu kupanggil ibu. Tidak adakah di hatinya sedikit rasa kasih sayang dan mau memperlakukanku sebagai anaknya, hanya sedikit tidak perlu banyak.


Aku bangkit, menatap wanita yang kupanggil ibu, dia begitu berhati hati menggendong bayi mungil yang menurutnya adalah adikku. Bukan, anak itu bukan hanya mendapatkan kasih sayang ibu tapi juga sudah merebut perhatian ayahku, satu satunya perhatian yang kumiliki.


"Hei kamu, jangan kurang ajar." seru ibu marah melihat tatapan mataku yang tajam dipenuhi kemarahan dengan perlakuannya yang tidak adil.


Aku hanya butuh sedikit pelukan hangat, bukan caci maki yang selalu menyebutkan aku sebagai anak jadah. Aku tidak pernah minta dilahirkan ke dunia ini, bukan salahku lahir dari ibu yang tidak pernah kulihat wajahnya.


Sebuah benda kembali melayang ke arahku, kali ini aku bisa menghindar sehingga benda itu menghantam wajah ayahku yang tiba tiba masuk tanpa permisi.


oooooOooooo​


Dan tiba tiba aku merasakan pelukan hangat seorang ibu, pelukan dan ciuman yang selalu kurindukan. Mataku terpejam menikmati nya, saat wajahku diciumi Nyai Nur, nafasnya yang hangat membelai kulit wajahku. Hangat, sehangat hatiku yang merindukannya.


"Ib, Nyai..!" seruku pelan, hampir saja aku memanggilnya Ibu, nama yang selalu kurindukan, bukan hanya sekedar panggilan kepada wanita yang sudah merawatku dengan caci maki hingga membuatku sangat membencinya.


"Kenapa, Sayang? Apa yang kamu inginkan dariku?" bisik Nyai Nur, suaranya semakin membuatku merasa nyaman, suara yang penuh kasih sayang.


"Tid tidak Nyai..!" jawabku gugup, apa yang sedang kurasa membuatku bingung.


"Kamu sudah tidak sabar ingin menikmati tubuhku?" goda Nyai Nur, lidahnya kembali menyusuri leherku, menggelitik birahiku. Aneh, aku merasa bahagia dengan perlakuan Nyai Nur, aku merasa dimanjakan oleh nya.


"Nyai, ajak Zaka pindah ke kamar, puaskan diri kalian..!" kata Kyai Amir, suaranya terasa berat melihat kebinalan Nyai Nur. Sekilas aku melihat Kyai Amir, wajahnya sangat gelisah bahkan suaranya terdengar berat.


"Yuk Sayang, kita habiskan malam ini berdua. Jangan khawatir, Gus Mir tidak akan mengganggu kita, dia hanya akan menjadi penonton yang baik tanpa perlu mengintip kita seperti yang dilakukannya waktu itu." bisik Nyai Nur mengembalikan kesadaranku, ternyata Kyai Amir mengintip kami berhubungan sex, pantas saja dia tahu.


"Iya Nyai, kita pindah ke kamar." jawabku, aku tidak mau kehilangan momen berharga ini. Momen di mana aku bisa merasakan kehangatan pelukan seorang ibu yang selama ini tidak pernah kudapatkan, momen aku dimanjakan oleh seorang ibu. Aku bahagia, tanpa bicara aku menggendong Nyai Nur yang langsung melingkarkan tangannya di leherku agar tidak terjatuh.


"Hihihi, seharusnya aku yang menggendongmu, usiamu sama dengan anak pertamaku." bisik Nyai Nur membuatku nyaris melepaskan tubuhnya karena terkejut, apa Nyai Nur tahu kalau aku adalah anak kandung yang sudah dibuangnya?


"Ma maksud, Nyai?" tanyaku dengan suara bergetar, langkahku terhenti menunggu jawaban Nyai Nur, jawaban yang bisa membuat jantungku copot.


( Bersambung ) 


Popular posts from this blog

Bokong Besar Mamaku Yang Menyejukan Jiwa ( Chapter 12 End )

Lendir Pesantren ( Part 3 )

Tetangga Kontrakan STW